RSBI DALAM PANDANGAN
MASYARAKAT MISKIN
1.
PENDAHULUAN
Dalam pandangan umum selama sekian dekade
pendidikan dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada
masyarakat, dalam hal ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari jasa layanan
umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi
perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak mendapat
kedudukan penting dalam gerak langkah pembangunan. Pendapat yang berkembang
justru pembangunan sektor pendidikan hanya memakan anggaran tanpa jelas
manfaatnya terutama secara ekonomi. Pandangan demikian membawa orang pada
keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai
pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala bidang.
Cara pandang ini sekarang sudah mulai
tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan
fungsi penting pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai
kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai
bidang. Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement)
telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa
pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor
pembangunan lainnya.
Pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak
bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat yang sama sekali
tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak
hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan
bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini
juga harus dilakukan secara hati-hati. Bentuk kehati-hatian adalah tidak
terjebak untuk mengukur peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran
pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar,
melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa
negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah,
dari hasil studi Asian Development Bank menyatakan bahwa tambahan anggaran
untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu
pendidikan.
Menurut Uharputra (2010) selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu
negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan
intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu.
Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar
disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan.
Pembagian obat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan
kualitas pendidikan disana. Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang
bisa diterka secara universal di semua negara. Dan tidak semua hal bisa
diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Dalam berbagai level kehidupan, pendidikan
memainkan peran yang sangat strategis. Pendidikan memberi banyak peluang untuk
meningkatkan mutu kehidupan. Pendidikkan merupakan tonggak
penting bagi kemajuan sebuah bangsa dan negara. Majunya pendidikan berbanding
lurus dengan tingkat kemakmuran masyarakat. Dengan pendidikan yang baik,
potensi kemanusiaan yang begitu kaya pada diri seseorang dapat terus
dikembangkan. Pada tingkat sosial, pendidikan dapat mengantarkan seseorang pada
pencapaian dan strata sosial yang lebih baik. Secara akumulatif, pendidikan
dapat membuat suatu masyarakat lebih beradab. Dengan demikian, pendidikan,
dalam pengertian yang luas, berperan sangat penting dalam proses transformasi
individu dan masyarakat. Pendidikan perlu menempatkan manusia atau warga
masyarakat dalam kedudukan sentral, dan menempatkan lingkungan sebagai satu
sistem dengan manusia sebagai pusatnya.
Dengan menyadari nilai strategis
pendidikan tersebut, dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
muncul pertanyaan awal: siapakah yang memiliki kewajiban untuk membiayai
pendidikan? Negara, masyarakat, atau kedua-duanya? Apakah masyarakat juga punya
kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan? Pertanyaan ini juga
mengimplikasikan pertanyaan lain: jika kewajiban negara untuk membiayai
pendidikan tidak bersifat penuh, mengapa pada tingkat tertentu partisipasi
publik dalam pembiayaan pendidikan itu tetap harus ada dan diperlukan?
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat
(3) menyebutkan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang”. Kewajiban negara untuk menyediakan dan
memenuhi hak warga negara atas pendidikan dibangun di atas asumsi yang terkait
erat dengan bagaimana kehidupan bermasyarakat terbentuk. Dalam konteks
Indonesia, hal ini tergambar dalam Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945.
Jadi, untuk memenuhi amanat “mencerdaskan
kehidupan bangsa”, yang kemudian diturunkan ke dalam pasal 31 UUD 1945, negara,
di antaranya, berkewajiban untuk membiayai pendidikan. Perlu diketahi bahwa
pembiayaan adalah salah satu bagian dari pengelolaan. Artinya, terkait
pendidikan, negara secara umum berkewajiban menyelenggarakan pengelolaan
pendidikan (termasuk dalam hal pembiayaan) untuk dapat memenuhi hak setiap
warga negara.
Mari kita kembali ke UU RI. No 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan dan penyempurnaan
dari UU. No.2 tahun 1989. Tujuannya jelas, supaya penyelenggaraan pendidikan di
Tanah air berada dalam rambu-rambu pendidikan nasional (pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan UUD RI ’45 yang berakar pada nilai nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman).
Untuk mewujudkan fungsi itu Departemen Pendidikan Nasional sebagai pemegang
otoritas di dunia pendidikan Indonesia melakukan berbagai upaya, seperti
meningkatkan mutu sekolah di seluruh Indonesia.
Upaya Pemerintah mengadakan pendidikan
gratis mulai dari SD, SMP hingga SMA tidak akan berjalan mulus ketika
dihadapkan pada paradigma bahwa pendidikan yang berkualitas di Negeri ini tidak
gratis alias biayanya mahal. Perhatian yang setengah-setengah pemerintah
terhadap Sekolah-sekolah gratis misalnya sarana prasarananya, tenaga
pengajarnya, buku diktatnya, dan sebagainya, memperkuat bahwa sekolah yang
bagus itu adalah yang tidak gratis. Selama pemerintah tidak mampu mengubah
paradigma tersebut maka kualitas pendidikan di Indonesia semakin tertinggal
dengan negara-negara lain (Mushthafa,2010).
2.
SBI / RSBI
Mengacu pada UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas pasal 50 ayat 3 yang secara garis besar ketentuan ini berisi bahwa
pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional,
atau dengan kata lain munculnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di seluruh
Kabupaten/Kotamadya di seluruh Indonesia.
Dari Kemendiknas (2006) arti Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyelenggarakan
pendidikan berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) dan mutu internasional
sehingga lulusannya memiliki mutu/kualitas bertaraf nasional dan internasional
sekaligus. Kualitas bertaraf nasional diukur dengan SNP dan kualitas bertaraf
internasional diukur dengan kriteria-kriteria internasional yang dikaji secara
seksama melalui persandingan SNP dengan standar/ kriteria mutu internasional,
pertukaran informasi, studi banding, dsb. Jadi, kualitas internasional
merupakan kelebihan dari kualitas nasional (SNP), baik berupa penguatan,
pendalaman, pengayaan, perluasan maupun penambahan terhadap SNP.
Latar
belakang pemerintah meluncurkan program SBI adalah :
1.
Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu
yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas
dan standarnya.
2.
Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke
Luar Negeri.
3.
Belum ada payung hukum yang mengatur penyeleng-garaan sekolah internasional
4. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center
of excellence) pendidikan
5. Atas fenomena di atas,
Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional
6. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia
perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil
pendidikannya.
Adapun Visi SBI adalah ”Terwujudnya insan
Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”. Misalnya, topik
pada mata pelajaran tertentu di SNP belum ada, tetapi topik tersebut ada pada
mutu internasional sehingga topik tersebut perlu ditambahkan ke SNP. Misi SBI adalah “Mewujudkan manusia Indonesia
cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi
secara global”. SBI bertujuan untuk “menghasilkan lulusan yang berkelas
nasional dan internasional sekaligus”. Adapun standar SBI terdiri dari :
1. output/lulusan SBI memiliki kemampuan
bertaraf internasional.
2. proses penyelenggaraan SBI mampu
mengakrabkan, menghayatkan dan menerapkan nilai, norma dan standar
internasional serta etika global yang menuntut kemampuan bekerjasama lintas
budaya dan bangsa
3. input adalah segala hal yang diperlukan
untuk berlangsungnya proses dan harus memiliki tingkat kesiapan yang memadai
secara internasional (kurikulum, guru, kepala sekolah, sarana dan prasarana,
dana, dsb.).
Kemendiknas telah menetapkan sumber pembiayaan
program RSBI antara lain berasal dari
APBN untuk pembiayaan operasional dalam rangka pengembangan kapasitas untuk
menuju standar kualitas SBI. Yang dibagi 30% untuk proses pembelajaran, 25%
untuk sarana penunjang PBM, 20 % untuk manajemen maksimal, dan 25 % untuk subsidi
siswa miskin dan kesiswaan. Untuk biaya investasi dan biaya operasional rutin
berasal berasal dari APBD prov/kab/kota. Masyarakat dan atau orang tua siswa
berperan dalam biaya investasi dan operasional untuk menutup kekurangan biaya
dari APBN dan APBD untuk menuju standar kualitas SBI. Adapun besaran biaya SPP maksimal yang
babankan pada orang tua untuk tingkat SD sebesar Rp. 150.000/ siswa, tingkat
SMP sebesar Rp. 600.000/siswa, tingkat SMA Rp. 450.000/siswa dan SMK Rp.
250.000/siswa. Untuk sumbangan sukarela (biaya pertama masuk) biaya maksimal
yang ditetapkan oleh Kemendiknas adalah, untuk tingkat SD Rp. 1.000.000/siswa,
tingkat SMP Rp. 12.500.000/siswa, tingkat SMA Rp. 15.000.000/siswa dan tingkat
SMK 2.700.000/siswa.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemendiknas), dalam kurun waktu 2006 hingga 2010 Kemendiknas sudah
menyubsidi 1.172 sekolah RSBI untuk menjadi sekolah bertaraf internasional
(SBI). Rata-rata tiap sekolah mendapat kucuran dana bantuan dari pemerintah
pusat kurang lebih Rp1,5 miliar. Namun begitu, sekolah berlabel RSBI ini juga
masih diperbolehkan untuk menarik pungutan dalam bentuk sumbangan pembinaan
pendidikan (SPP). Nilainya mulai Rp200.000 hingga Rp400.000. Selain mendapat
gelontoran bantuan untuk berubah menjadi SBI, siswa yang duduk di bangku RSBI
ini pun mendapat bantuan operasional pendidikan daerah (Bopda). Untuk SMK
sebesar Rp152.000/siswa tiap bulan dan untuk SMA Rp150.000/siswa tiap bulan.
Jika berstatus RSBI, nilai bantuan yang diberikan lebih besar,yakni untuk SMA
RSBI sebesar Rp240.000/siswa tiap bulan, sedangkan SMK RSBI Rp270.000/ siswa
tiap bulan. Mendorong sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu penting
dan harus dilakukan. Ini seperti yang ada pada sekolah RSBI. Hampir semua
infrastruktur penunjang untuk mengasah kepintaran siswa terpenuhi,mulai dari
tenaga pengajar lulusan S2 hingga bahasa pengantar menggunakan bahasa Inggris.
3. Masyarakat miskin
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian ,
tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari
sudut ilmiah yang telah mapan (http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan).
Masih dalam
wikipedia (2010) Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman
utamanya mencakup :
1.
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
2.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
3.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan
yang memadai. Makna memadai disini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian
politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Menurut Pidarta
(2007) kata miskin diukur dari tingkat perekonomian, bukan tingkat kualitas
mental atau rohani. Sebagaimana tingkat kemiskinan seseorang, tingkat
kemiskinan suatu sekolah atau peguruan tinggi sangat ditentukan oleh kondisi
ekonominya masing-masing. Jika dana yang tersedia dalam suatu sekolah banyak
maka akan semakin leluasa sekolah tersebut membiayai semua aktifitas
pembelajaran disekolahnya. Sebaliknya sekolah yang miskin akan sulit membiayai
proses pembelajaran disekolahnya.
4. SBI/RSBI dalam
masyarakat miskin
Sebagaimana
istilahnya, sekolah internasional berarti sekolah yang memiliki standar
internasional. Sebuah sekolah yang memiliki fasilitas unggul, para pengajar
yang lebih profesional, selain biaya masuk yang tinggi. Ini tentu saja menyiratkan
sebuah kelebihan dari sekolah internasional sekaligus ajang superioritas dan
eksklusivisme. Sebagai sebuah sekolah yang bertaraf internasional, tentu saja
menuntut biaya lebih dari para penuntut ilmu atau siswa. Karena itu, RSBI boleh
menarik sumbangan dari siswa dengan adanya alasan tersebut. Bahkan, pihak
sekolah sendiri pun, tak jarang menjadikan pertimbangan kemampuan ekonomi dalam
rekrutmen siswa, meskipun tidak semua sekolah RSBI menerapkan sistem ini pada
siswanya.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab
RSBI memerlukan biaya yang tidak sedikit dengan kata lain mahal. Namun, yang
perlu dicermati, apakah berdirinya RSBI ini sudah memberi rasa keadilan di
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Di RSBI tidak ditemukan rasa
keadilan itu. Yang perlu dibangun adalah sistem pendidikan yang mengusung nilai
dan rasa berkeadilan bagi rakyat. Artinya, semua warga negara dapat mengenyam
pendidikan bermutu dan gratis. Di sekeliling RSBI ini ratusan bahkan ribuan
sekolah masih terkungkung dalam masalah klasik. Tenaga guru kurang, baik jumlah
maupun kemampuan pengajaran. Tidak jarang tenaga pengajar hanya lulusan SMA. Bandingkan
dengan RSBI yang sebagian gurunya memegang gelar strata dua. Belum lagi,siswa
harus belajar di ruangan yang masih kurang memadai. Ujung-ujungnya siswa miskin
yang berasal dari golongan ekonomi menengah bawah akan tetap berada pada
pusaran statusnya. Sementara siswa yang mapan secara ekonomi nan pintar akan
semakin pintar. Ditambah lagi kalau sudah berprestasi, akan mudah mendapat beasiswa.
Kalau bagi siswa miskin, bagaimana mau
pintar untuk membeli buku pelajaran saja masih berpikir ribuan kali.
Menurut Pidarta (2007) persekolahan di
Indonesia sebagian besar masih lemah ekonominya. Memang hampir semuanya
mempunyai gedung, walaupun tidak megah tetapi perlengkapan belajarnya masih
minim. Juga kesejahteraan guru dan dosennya belum memadai, sehingga sebagian
besar dari mereka terpaksa mencari kerja sambilan untuk menutupi ekonominya
Sekolah
internasional memiliki prioritas untuk golongan ekonomi keatas, dan
meminggirkan golongan ekonomi menengah kebawah. Untuk bisa masuk dalam RSBI
atau SBI, selain kemampuan akademis yang bagus, namun juga perlu membayar
dengan biaya lebih. Meskipun ada beragam bentuk beasiswa didalam sekolah
betaraf internasional tersebut, tetapi tetap saja masih sangat sulit untuk
masuk kedalamnya. Belum lagi setelah masuk, keadaan pergaulan siswa tentu akan
berbeda. Mungkin akan berdampak buruk
pada perkembangan psikologis siswa, jika tidak dapat menyatu dengan pergaulan
tingkat tinggi, yang mungkin tercipta dengan sendirinya. Siswa yang berasal
dari golongan ekonomi menengah kebawah akan merasa minder dengan teman-teman
mereka yang berasal dari ornag berada. Tentu saja ini tidak dapat ditembus oleh
masyarakat ekonomi menengah kebawah secara umum. sekolah yang mengikutinya
menjadi eksklusif dan
menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan
menengah ke atas. Jika sudah demikian, maka RSBI bertentangan dengan prinsip persamaan, yakni terbukanya akses dan
kesempatan bagi siswa dari golongan manapun, untuk memperoleh pendidikan di
semua jenjang, jenis, dan tingkatan.
Upaya Departeman Pendidikan Nasional untuk
meningkatkan mutu pendidikan ini patut kita acungi jempol. Siapa yang tidak
bangga, jika kian bertambah umur bangsa ini kian meningkat mutu pendidikannya.
Sebab yang membedakan besar/kecil, maju/terbelakangnya suatu negara ukurannya
adalah majunya pendidikan di negara tersebut. Niat pemerintah untuk terus
meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air memang patut kita berikan
apresiasi. Namun, pemerintah jangan hanya sebatas menggulirkan target-target
pencapaian makro yang dilengkapi dengan paket-paket kebijakan umum, namun
kemudian melempar tanggung jawab pelaksanaan (termasuk aspek pendanaan) kepada
masyarakat. Karena hal itu pada akhirnya tidak saja membebani masyarakat dengan
mahalnya biaya pendidikan, namun juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan
membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi lantaran
ketiadaan dana. Jika sudah demikian maka lingkaran kemiskinan pengetahuan akan
terus berputar-putar di dalam arena kehidupan orang-orang tak berpunya.
Kesempatan untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan tidak akan pernah
terwujud karena lagi-lagi mereka harus menerima nasib sebagai orang miskin yang
tak bisa mengenyam pendidikan mahal.
5. Penutup
Program SBI
ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan
sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya
menjadi eksklusif dan
menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan
menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa
membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari
kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Siswa yang
belajar di program ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa
kelas reguler.
Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI
ini adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk
melakukan komersialisasi pendidikan.
Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan
pelayanan pendidikan kepada rakyatnya
secara gratis dan juga bermutu. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI
bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada
masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya
tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah
publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya
menjadi komersial.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk lari dari
tanggung jawab.
Salah satu cara Untuk menghindari komersialisasi
pendidikan maka semua biaya yang ditimbulkan oleh program ini harus ditanggung
sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini adalah program yang seharusnya
menjadi program kebanggaan pemerintah pusat dan daerah sehingga pembiayaannya
memang tidak membebani orang tua siswa. Anak-anak yang berbakat luar biasa
sudah selayaknya mendapat bea siswa untuk menunjang perkembangan potensi mereka
tersebut. Untuk mendapat tambahan biaya pendidikan maka pemerintah daerah dapat
menggalang bantuan dari berbagai perusahaan yang ada di daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA
UU No.20/2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
UU No.19/2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan
Kemendiknas. 2006. Sekolah
Bertaraf Internasional.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah
Uharsputra, 2010,Ekonomi Pendidikan,
http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/ekonomi-pendidikan/ diakses 13 november 2010
Mushthafa, M, 2010, Problem Etis dalam Pembiayaan Pendidikan:
Pemiskinan Negara, Kepentingan Publik, dan Otonomi Pendidikan Masyarakat, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/17/ diakses 13 November 2010
Pidarta, Made. 2007. Landasan
Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak. Indonesia. Cetakan kedua.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kemiskinan, 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan diakses 13
November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar