TIMSS


Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi international tentang kecenderungan atau perkembangan matematika dan sains. Studi ini diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) yaitu sebuah asosiasi internasional untuk menilai prestasi dalam pendidikan yang berpusat di Lynch School of Education, Boston College, USA.
TIMSS bertujuan untuk mengetahui peningkatan pembelajaran matematika dan sains. yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Pertama kali diselenggarakan pada tahun 1995, kemudian berturut-turut pada tahun 1999, 2003, 2007 dan 2011 sedang berlangsung. Salah satu kegiatan yang dilakukan TIMSS adalah menguji kemampuan matematika siswa kelas IV SD (Sekolah Dasar) dan Kelas VIII SMP (Sekolah Menengah Pertama) (Mullis, Martin, Ruddock, O’Sullivan & Preuschoff: 2009)
Bentuk soal-soal  dalam TIMSS adalah pilihan ganda dengan 4 atau 5 pilihan jawaban, isian singkat dan uraian. Kerangka penilaian kemampuan bidang matematika yang diuji menggunakan istilah dimensi dan domain. Dalam TIMSS 2011 Assesment framework (Mullis, Martin, Ruddock, O’Sullivan & Preuschoff: 2009) penilaian terbagi atas dua dimensi, yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Penilaian dimensi konten untuk siswa kelas IV SD terdiri atas tiga domain, yaitu: bilangan, bentuk geometri dan pengukuran, serta penyajian data. Sedangkan dimensi konten untuk kelas VIII SMP terdiri atas empat domain, yaitu: bilangan, aljabar, geometri, data dan peluang. Penilaian dimensi kognitif pada kelas IV SD dan kelas VIII SMP terdiri dari tiga domain, domain pertama adalah pengetahuan, mencakup fakta-fakta, konsep dan prosedur yang harus diketahui siswa. Kemudian domain kedua adalah penerapan, yang berfokus pada kemampuan siswa menerapkan pengetahuan dan pemahaman konsep untuk menyelesaikan masalah atau menjawab pertanyaan. Dan domain yang paling penting adalah yang ketiga yaitu domain penalaran, yang berfokus pada penyelesaian masalah non rutin, konteks yang kompleks dan melakukan langkah penyelesaian masalah yang banyak.
Selama keikutsertaan Indonesia dalam TIMSS hanya mengikutsertakan siswa kelas VIII SMP saja, sedangkan siswa kelas IV SD belum pernah diikutsertakan.  Padahal pembelajaran dan soal-soal yang menuntut penalaran harus sudah dibiasakan sejak dini.  Pantazi dan  Christou (2011) mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika sejak usia dini akan tercermin dalam pemahaman tentang konsep matematika pada saat mereka dewasa. Menurut Russel (1999) empat aspek penalaran yang perlu dikembangkan sejak anak Sekolah Dasar ialah, pertama mengembangkan pembenaran dan menggunakan perumuman. Kedua, menuntun pada jalinan dari pengetahuan matematik yang saling berhubungan daam suatu ranah matematik. Ketiga, pengembangan jalinan pemahaman matematik dakan menjadi dasar ari kepekaan matematik yang manjadi basis untuk melihat ke intinya sewaktu anak berjumpa dengan masalah matematik. Keempat, perlunya mengkaji penalaran keliru sebagai kawah menuju pengembangan mendalam pengetahuan matematik. Dan Soal-soal matematika model TIMSS dapat digunakan untuk membiasakan siswa Sekolah Dasar untuk melatih penalaran matematis siswa.
Hasil survei empat tahunan TIMSS, pada keikutsertaan pertamakali tahun 1999 Indonesia berada pada peringkat 34 dari 38 negara. Pada tahun 2003 Indonesia berada pada peringkat 34 dari 46 negara. Dan ranking Indonesia pada TIMSS tahun 2007 turun menjadi ranking 36 dari 48 negara.
Posisi Indonesia dengan rata-rata 405, relatif sangat rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain yang berpartisipasi dalam TIMSS 2007 seperti Malaysia yang menempati posisi 20 dengan skor rata-rata 474, apalagi Singapura yang menempati posisi ke-3 dengan skor rata-rata 593 (Mullis et al dalam Iryanti, 2010). Bila dirujuk ke benchmark yang dibuat TIMSS. Standar internasional untuk kategori mahir 625, tinggi 550, sedang 475 dan rendah 400. Maka hasil yang dicapai siswa Indonesia tersebut masuk pada kategori rendah, jauh dari kategori mahir (625) dimana pada kategori ini siswa dapat mengorganisasikan informasi, membuat perumuman, memecahkan masalah tidak rutin, mengambil dan mengajukan argumen pembenaran simpulan. Dimana pada kategori mahir inilah yang ingin dicapai dalam kurikulum pendidikan matematika disekolah (Napitupulu, 2008)
Hasil TIMSS yang rendah ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya antara lain karena siswa di Indonesia kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal kontektual, menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas dalam meyelesaikannya. Dimana soal-soal tersebut merupakan karakteristik soal-soal TIMSS. Dalam penelitian yang dilakukan Iryanti (2010) menunjukkan persentasi waktu pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak digunakan untuk membahas atau mendiskusikan soal-soal dengan kompleksitas  rendah yaitu sebesar 57%  dan untuk membahas soal-soal dengan kompleksitas tinggi menggunakan waktu yang lebih sedikit sekitar 3%, sedangkan soal-soal model TIMSS termasuk soal-soal yang memiliki kompleksitas sedang dan tinggi, serta memerlukan penalaran dalam penyelesaiannya. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa  Indonesia kurang terbiasa mengerjakan soal-soal model TIMSS. Untuk itu penting sekali memperbanyak soal-soal model TIMSS yang mengandung penalaran matematis dalam pembelajaran. Dalam hal ini penting untuk mensosialisasikan pada guru tentang apa dan bagaimana karakteristik soal-soal model TIMSS untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas.

3 komentar:

  1. artikelnya menarik...

    kebetulan saya tertarik untuk meneliti literasi math yg berkiblat pada TIMSS. apakah ibu punya rujukan tentang karakteristik soal-soal TIMSS?
    seperti rubrik penskorannya, dan indikator soal" dalam TIMSS ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai, sy tertarik dengan komentar ini, sy juga sedang meneliti mengenai pengembangan soal berbasis TIMSS, apakah anda mempunyai karakteristik soal2 TIMSS?

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus